Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahunnya terdapat 13 juta kematian di seluruh dunia yang diakibatkan oleh dampak dari perubahan iklim. Peningkatan temperatur bumi, cuaca ekstrim, hingga penurunan kualitas udara pada nyatanya menjadi katalis terhadap berbagai penyakit, seperti penyakit infeksi, gangguan pernapasan, jantung, dan saraf. Di samping itu, situasi tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, status kehamilan, kelahiran, hingga nutrisi.
Sistem kesehatan di Indonesia tidak lepas dari potensi risiko kesehatan akibat dampak dari perubahan iklim tersebut. Ketidakseimbangan status sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya derajat hygiene perseorangan, hingga tidak meratanya ketersediaan air bersih sebagai beberapa faktor yang dapat memburuknya dampak yang terjadi di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga menjadi lokasi endemik beberapa penyakit menular seperti malaria, demam berdarah, dan diare.
Menyikapi tantangan tersebut, maka negara memerlukan sebuah upaya sistematis dalam mengembangkan solusi terhadap isu-isu perubahan iklim, terutama di bidang kesehatan. Sejalan dengan tema Hari Kesehatan Sedunia 2022, yaitu “our planet, our health” dan Hari Bumi dengan tema “invest in our planet”, negara memerlukan upaya-upaya kolektif dalam mewujudkan lingkungan hidup yang mendorong sistem kesehatan yang berkualitas, dengan mengedepankan pendekatan multi-stakeholder, keteradilan/equity dan berkelanjutan/sustainability. Upaya ini tidak hanya terkait dengan kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental, sosial, dan ekonomi.
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM bekerjasama dengan S20/AIPI menyelenggarakan Forum Dekan bertajuk “Our Planet, Our Health” yang digelar pada Kamis, 14 April 2022 pukul 12.30-16.30 WIB. Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk: pertama, memahami agenda global dan nasional terkait dengan perubahan iklim dan kaitannya terhadap kesehatan fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Kedua, mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam menanggulangi isu perubahan iklim dari perspektif masing-masing bidang keilmuan. Ketiga, menyediakan rekomendasi untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan berwawasan lingkungan.
Kegiatan Forum Dekan ini diawali dengan prakata dari Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang sekaligus sebagai S20 Chair, Prof. Dr. Ir. Satryo S. Brodjonegoro. Prof Satryo menekankan bahwa pembelajaran yang berkelanjutan/continuous learning dan kesiapsiagaan sejak dini dengan prinsip transdisiplin dan kolaboratif diperlukan dalam menangani perubahan iklim di Indonesia. Kepemimpinan Indonesia di S20 akan mendorong adanya rencana aksi/action plan yang dapat mengikat seluruh negara anggotanya dalam mewujudkan hal tersebut.
Keynote speaker di Forum Dekan ini, dr. Anas Maruf, MKM. (Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI) menekankan bahwa perubahan iklim, apabila tidak tertangani dengan baik, dapat melipat gandakan risiko kesehatan individu dan masyarakat yang terjadi di Indonesia. Selain itu, potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim di sektor kesehatan dapat mencapai 6,48 Triliun pada tahun 2024. Dokter Anas menekankan bahwa upaya penanganan berbasis kerjasama pentaheliks (pemerintah pusat, daerah, swasta/LSM, masyarakat, dan akademisi) merupakan upaya penting dalam memperkuat ketahanan sistem kesehatan menghadapi dampak dari perubahan iklim.
Sebagai pemateri pertama, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph,D. menekankan bahwa perubahan iklim akan lebih terasa dampaknya pada kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, anak, ibu hamil, maupun masyarakat di wilayah berpenduduk padat. Apabila hal ini tidak tertangani dengan baik, maka upaya mewujudkan generasi Indonesia yang unggul dan berdaya saing akan banyak terhambat. Oleh karena itu, Prof Ova mendorong adanya upaya kolaboratif dalam menguatkan kapasitas surveilans dan respons untuk menghadapi bencana akibat dari perubahan iklim, yang disertai dengan penguatan fasilitas layanan kesehatan primer hingga tersier dan peningkatan literasi masyarakat terhadap isu yang dapat menimbulkan permasalahan kesehatan, seperti kemiskinan, pendidikan, maupun ketidaksetaraan gender.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat S.Psi., M.Sc., Ph.D., selanjutnya menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat menimbulkan peristiwa traumatis yang menimbulkan gangguan kesehatan mental, seperti cemas, depresi, dan penurunan fungsi sosial. Situasi ini mengedepankan kebutuhan akan literasi kesehatan mental yang mampu meningkatkan kapasitas masyarakat.
Degradasi dan deforestasi hutan yang masif menjadi pemicu dampak perubahan iklim terhadap kesehatan lingkungan. Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, S.Hut., M.P., M.Sc., Ph.D. memaparkan bahwa degradasi dan deforestasi hutan tersebut dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca yang mempersulit Indonesia dalam mewujudkan net zero emission sektor kehutanan dan lahan di tahun 2030.
Dampak perubahan iklim juga dapat mempengaruhi kesehatan sosial-ekonomi masyarakat. Novat Pugo Sambodo, S.E., MIDEC. dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM menekankan bahwa perubahan iklim yang tidak terkontrol dapat meningkatkan kesenjangan ekonomi, terutama pada masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengantisipasinya. Sehingga, diperlukan upaya yang sistematis dan kolaboratif dalam mewujudkan konsep penanganan dampak dari perubahan iklim, seperti revolusi industri rendah karbon.
Peran universitas diperlukan dalam menyelesaikan berbagai tantangan sebagaimana yang disebutkan diatas. Menurut Prof. Dr. Jatna Supriatna (AIPI), universitas memiliki berbagai disiplin keilmuan dan juga jejaring eksternal yang potensial untuk saling berkolaborasi dalam mengembangkan pendidikan, riset, dan pengabdian dalam menangani permasalahan dampak perubahan iklim secara komprehensif. Sesi talk show kedua pada Forum Dekan ini menginformasikan beberapa praktik baik dalam perumusan solusi ini. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Prof. Dr. Teguh Budi Pitoyo, serta Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Med.Sc., Ph.D. (AIPI) mendorong terwujudnya pendekatan one health, yang merupakan kerja kolaboratif dan multisektoral dalam mengintegrasikan aspek kesehatan manusia, hewani, dan lingkungan. Dekan Fakultas Teknik, Prof. Selo, MT., Ph.D., memaparkan pentingnya bangunan hijau/green building dalam mendukung efisiensi energi dan sumber daya secara berkelanjutan. Sementara itu, Dekan Fakultas Geografi, Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., mengedepankan proses rekayasa lingkungan sebagai strategi jangka panjang yang efektif dalam merawat kesehatan lingkungan. Dekan Fakultas Pertanian, Ir. Jaka Widada, MP., Ph.D., menekankan perlunya upaya untuk mewujudkan keseimbangan antara kebutuhan pangan dan pelestarian ekosistem. Hal ini dapat diwujudkan melalui perwujudan pendekatan phytobiomes dalam pembangunan agrikultur di Indonesia. Inovasi pemanfaatan air hujan dalam menjamin akses air bersih sebagaimana disampaikan oleh Dekan Sekolah Vokasi, Dr-Ing. Ir. Agus Maryono, merupakan salah satu bentuk perwujudan pendekatan phytobiomes tersebut. Terakhir, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Setiadi, M.Si., mengedepankan penanaman budaya green mindset dan green behaviour melalui kepemimpinan kampus yang mampu memberi keteladanan bagi masyarakat.
Sebagai penutup, Dr. Wawan Mas’udi, SI.P., MPA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menekankan bahwa isu perubahan iklim yang tidak tertangani dengan baik berisiko mempengaruhi kestabilan institusi sosial-politik, tata kelola ekonomi, dan sistem kesehatan nasional. Untuk itu, upaya gotong royong diperlukan untuk mewujudkan penguatan ideologi kebijakan, rencana aksi nasional, literasi publik, dan gerakan sosial terkait perubahan iklim.
Acara Dean’s Forum dapat disaksikan kembali pada kanal Youtube AHS UGM.