Seminar rabuan yang diselenggarakan AHS UGM yang berjudul “Potensi Academic Health System Dalam Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan Rujukan di Indonesia”, bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai potensi penerapan AHS dalam mendukung penguatan akses, kualitas, dan efisiensi layanan rujukan dan menyediakan forum diskusi bagi mahasiswa Program Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (KMK) dan Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) dalam menyikapi berbagai peluang yang ada. Acara ini mendatangkan tiga narasumber yaitu dr. Siti Khalimah, Sp.KJ., MARS, Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)., MPH, dan Dr. dr. Darwito, SH., Sp.B(K)Onk.
Pada sesi pertama, dr. Siti membawakan materi tentang “Potensi AHS dalam Memperkuat Sistem Pelayanan Kesehatan Rujukan di Indonesia”. Ia menjelaskan bahwa beberapa permasalahan kesehatan di Indonesia, yaitu angka kematian bayi di Indonesia 6x lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, prevalensi stunting Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan akses layanan primer di daerah timur Indonesia sangat terbatas, kurangnya kapasitas rumah sakit dan tenaga kesehatan.
dr. Siti menjelaskan bahwa beberapa kondisi masih belum merata pelayanan rujukannya disebabkan karena kompetensi layanan, SDM, sarana prasarana, mutu layanan belum merata. Ada 19 provinsi belum mampu melakukan operasi bedah jantung terbuka, 16 provinsi belum mempunyai layanan radioterapi, 3 provinsi belum mempunyai layanan kemoterapi, 4 provinsi belum mempunyai layanan hemodialisis. SDM untuk 10 provinsi belum mempunyai dokter neurointervensi/bedah syaraf vaskuler, 12 provinsi belum mempunyai Sp onkologi radiasi, dan 11 provinsi belum mempunyai dokter bedah thoraks kardiovaskuler. Sarana prasarana pada 5 provinsi belum mempunyai cathlab dan 16 provinsi belum mempunyai alat radioterapi.
“Ada beberapa program prioritas transformasi layanan rujukan, yaitu peningkatan mutu dan keselamatan pasien, meliputi: akreditasi RS, audit medis, PNPK dan clinical pathway, kemudian pengembangan center of excellence, meliputi: layanan dengan kualitas high standard setara internasional, teknologi tinggi, evidence based penelitian, berjejaring dengan RS lain dalam layanan unggulan, kemudian one stop service berbasis teknologi digital, meliputi: terpadu, multidisiplin dalam satu tempat pelayanan sehingga memberikan kemudahan pada pasien, pendaftaran online, rekam medik elektronik, dan digitalisasi layanan, meliputi: SIMRS terpadu, rekam medik elektronik, telemedicine antar fasyankes (telekonsultasi) dan fasyankes dengan pasien, jejaring pengampuan layanan prioritas, sister hospital, academic health system,” tuturnya.
Metode pengampuan melalui daring, seperti sosialisasi, pelatihan/peningkatan kompetensi, diskusi kasus, konsultasi kasus secara daring melalui telemedicine, dan sistem rujukan terintergrasi. Melalui luring dan pelatihan/peningkatan kompetensi, seperti pendampingan pelayanan, pendampingan pelaksanaan tindakan, workshop dan pelatihan untuk tenaga yang berhubungan dengan pelayanan (dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain), dan fellowship.
Tujuan Academic Health System yaitu meningkatkan indikator kesehatan masyarakat dan menghasilkan sumber daya kesehatan yang berkualitas. Fungsi integrasi dalam AHS adalah mempercepat pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan, kerjasama dalam penelitian translasional, peningkatan mutu pelayanan, pendidikan, dan penelitian, efisiensi biaya dari shared budget dan shared fascility.
“Beberapa skenario strategi pemenuhan dari Ditjen Yankes adalah jangka pendek, seperti: pelatihan/pendidikan jangka pendek, misalnya: pengembangan program fellowship/kewenangan tambahan (3 bulan-1 tahun) dan non pendidikan, misalnya: penugasan tenaga dari RS pengampu, program penugasan Kepala Residen yang sudah lulus ujian, re-distribusi tenaga spesialis (draft Perpres) sulit dilaksanakan dan jangka panjang, seperti: program pendidikan spesialis atau sub spesialis dan perluasan prodi spesialis,” jelas dr. Siti.
Potensi AHS dalam mendukung pemenuhan SDM untuk memenuhi transformasi pelayanan kesehatan rujukan kesehatan, yaitu penguatan koordinasi antar Fakultas Kedokteran melalui asosiasi, berkontribusi dalam pemenuhan, pemeratan dan peningkatan kualitas dokter dan dokter spesialis, peningkatan harmonisasi dan koordinasi dengan RS pendidikan, penambahan kuota mahasiswa dokter dan dokter spesialis dalam jangka waktu tertentu, penjaminan mutu terhadap penyelenggaraan pendidikan dokter dan dokter spesialis, penambahan dosen NIDN dan NIDK, pemetaan potensi FK di wilayahnya untuk penguatan dalam pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan, pengampuan bagi FK di wilayahnya untuk pemenuhan dokter dan dokter spesialis, penambahan jenis dan atau membuka prodi dokter spesialis sesuai kebutuhan, berkontribusi dalam program pendayagunaan dokter spesialis, penambahan jenis dan atau membuka prodi dokter spesialis sesuai kebutuhan, berkontribusi dalam program pendayagunaan dokter spesialis, pelaksanaan program afirmasi untuk pemenuhan dokter dan dokter spesialis di daerah prioritas, dan memberikan masukan untuk penguatan akselerasi transformasi bidang kesehatan.
Sesi selanjutnya, dr. Sri Mulatsih membawakan materi yang berjudul “Potensi AHS Untuk Penguatan Proses Layanan Kesehatan di RS Rujukan Nasional”. Ia memaparkan konsep AHS adalah suatu integrasi antar banyak pemangku kepentingan atau institusi pendidikan dalam hal ini Fakultas Kedokteran dengan RS pendidikan/rujukan nasional, institusi pendidikan profesi kesehatan lain, lembaga riset, wahana pendidikan, dan institusi lain.
Menurut dr. Sri Mulatsih, tujuan AHS yaitu bagaimana kualitas kesehatan masyarakat bisa meningkat dengan cara melakukan suatu penguatan sistem Tridharma Perguruan Tinggi pendidikan, pelayanan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dengan harapan kualitas kesehatan masyarakat meningkat, maka secara tidak langsung pertumbuhan ekonomi global meningkat.
“AHS yang ada di Indonesia dahulu diawali Keputusan Menteri, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No. 288/M/KPT/2016, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan Kementrian Kesehatan membentuk komite bersama untuk meningkatkan kualitas pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan. Ada beberapa yang program kerjanya membuat landasan hukum, struktur komite bersama, tugas utama komite bersama, rapat kerja komite, program unggulan, RS PTN sebagai pilot project RSP. Aktualisasi AHS pada saat itu mencakup: konsep AHS, implementasi AHS, pemangku kepentingan AHS dan manfaat sinergitas AHS. Pilot project AHS di Indonesia, meliputi: UNHAS, UI, UGM, UNAIR, UNPAD,” jelas dr. Sri Mulatsih.
Kriteria RS rujukan nasional yang unggul mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/390/2014 tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional, dimana didalamnya rumah sakit rujukan nasional harus memenuhi kriteria, yaitu ditetapkan oleh Mentri Kesehatan, harus mampu menjadi rujukan lintas provinsi (minimal 4), RS Klas A, AMC, dan sudah terakreditasi setara internasional untuk pelayanan, kemudian kriteria yang lain melaksanakan sistem renumerasi, akses transportasi (udara, darat, air), dan unggulan subspesialistik (minimal 2), dapat mengampu RS regional di wilayahnya, dan program SH nasional dan internasional.
Tugas RS rujukan nasional yaitu pengampu RS regional di wilayahnya, rujuk balik, pengembangan layanan unggulan subspesialistik, penyusunan SPO rujukan, penyiapan SDM, sarana prasarana, sistem informasi, pengembangan HTA terutama produk dalam negeri, penerapan HBL.
“Yang harus dilakukan rumah sakit rujukan nasional untuk mensuport AHS yaitu harus ada integrasi misi institusi, keselarasan misi, akuntabilitas internal, akuntabilitas eksternal, interprofessional education and practice, dan pengembangan pengetahuan dan diseminasi,” tuturnya.
Indikator kinerja AHS, meliputi: patient safety, outcome penyakit kronik, kesehatan jiwa, kesehatan ibu, anak, lansia, penelitian dan inovasi, edukasi dan pelatihan pakar.
Akuntabilitas eksternal yang harus dimiliki AHS termasuk rumah sakit rujukan nasional adalah bagaimana peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara umum melalui program-program tidak hanya kuratif, rehabilitatif, dan preventif sehingga kenapa Rumah Sakit Sardjito dengan fakultas menggandeng Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten, Pemda, dan lain sebagainya sesuai dengan program yang dikembangkan.
Manfaat AHS untuk RS rujukan nasional adalah meningkatkan jumlah dan kualitas staf klinik secara signifikan, memperbaiki pelayanan pasien dan pasien safety dengan mutu serta fasilitas rawat inap dan rawat jalan yang lebih baik, menunjukkan keahlian dalam perawatan klinis yang profesional sehingga meningkatkan daya jual dan daya saing, mengembangkan layanan rujukan yang excellent termasuk jantung, kanker, pediatric center, tumor otak atau otak vaskuler, dan sebagainya, mendapatkan kekuatan SDM secara excellent, dan sebagai regulator.
“Fokus program AHS regional Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: healthy ageing melalui “Yogyakarta Sehat Lestari”, percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, dan health tourism,” ungkapnya.
Pada sesi terakhir, dr. Darwito membawakan materi yang berjudul “Potensi AHS untuk Penguatan Proses Layanan Kesehatan di RS pendidikan” yang membahas tentang fungsi dan tugas RSP baik pelayanan, pendidikan, dan penelitian mempunyai poin-poin, contohnya pelayanan kesehatan terintegrasi, sesuai kebutuhan, standar pelayanan dan mengutamakan keselamatan pasien, mutu dan keselamatan pasien, pada pendidikan menyediakan dosen, menghasilkan tenaga kesehatan, membina jejaring RSP, menyediakan pasien dengan variasi kasus dan jumlah sesuai kebutuhan pendidikan, pada penelitian melaksanakan penelitian translasional, melaksanakan health technology assessment, pengembangan pusat unggulan, penelitian untuk kemajuan pendidikan, kerjasama dengan pelaku industry, dan lain-lain.
Peran AHS adalah menghitung jumlah dan jenis lulusan SDM kesehatan sesuai kebutuhan wilayah (termasuk untuk menentukan proyeksi kuota mahasiswa), mendefinisikan profil dan value SDM kesehatan yang diperlukan di wilayah, dan menentukan pola distribusi SDM kesehatan yang sustainable dari layanan primer hingga tersier.
“Residen sebagai peserta didik sekaligus pemberi layanan di fasilitas kesehatan, hak peserta didik untuk dapat mengikuti proses pembelajaran yang baik, didukung insentif sebagai salah satu faktor pendukung, dan kewajiban rumah sakit untuk memberikan insentif kepada peserta didik yang telah memberikan layanan,” jelas dr. Darwito.
Acara ini diadakan Rabu, 22 Juni 2022 lalu melalui media daring. Untuk menonton seminar ini secara lengkap, pembaca dapat mengunjungi Youtube Kanal Pengetahuan FKKMK UGM pada laman berikut.