Meningkatnya kewaspadaan terhadap gelombang ketiga COVID-19 di Indonesia telah memicu pemerintah untuk mengeluarkan berbagai upaya, seperti percepatan vaksinasi, pengetatan PPKM, dan karantina kesehatan. Upaya-upaya tersebut perlu didukung oleh strategi spesifik di level regional menyesuaikan dengan variasi situasi dan kapabilitas pengelola kesehatan di masing-masing daerah. AHS UGM berkolaborasi dengan SONJO (Sambatan Jogja) turut bergerak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan strategi untuk menghadapi varian Omicron dengan menggelar webinar bertajuk “Membangun Shelter Komunitas untuk Pandemi Gelombang ke-3: Belajar Dari yang Lalu, Mempersiapkan Masa Kini”. Acara ini disiarkan pada Ahad (13/2) melalui Zoom Meeting dan Youtube.
Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Pengabdian Masyarakat FK-KMK UGM, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH. dalam sambutannya mengatakan bahwa per Jumat (11/2) kemarin, kasus Omicron di Indonesia sudah lebih dari 5000 kasus. Strategi andalan untuk dapat mengendalikan COVID-19 adalah isoman dan telemedicine. Namun, belajar dari gelombang sebelumnya, tidak semua rumah masyarakat layak untuk isoman sehingga pengembangan shelter di tingkat komunitas/kelurahan/RW perlu mendapat perhatian dan kerjasama dari kita semua.
“Fungsi shelter menjadi optimal ketika shelter terhubung dan bekerjasama dengan rumah sakit sehingga pasien yang memburuk kondisinya dapat segera dirujuk dari shelter, atau sebaliknya pasien yang membaik di rumah sakit dapat dirujuk dan cukup dirawat di shelter,” ungkap dr. Yodi.
Memantik diskusi pada pagi itu, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D. memaparkan situasi terkini terkait varian Omicron. Kasus COVID-19 yang disebabkan oleh varian Omicron jauh lebih tinggi dibandingkan ketika dunia dilanda Delta, namun angka kematian relatif lebih rendah. Dari segi distribusi, jumlah kasus karena varian Omicron paling banyak terjadi di Amerika dan Eropa.
Merujuk data dari Inggris, ada perubahan gejala COVID-19, gejala anosmia dan perubahan indera pengecap menjadi lebih sedikit. Batuk, pilek, sakit kepala, kelelahan, dan sakit tenggorokan yang menjadi ciri khas gejala varian Omicron. Disamping itu, varian ini mampu melakukan reinfeksi 16x lebih tinggi, akibatnya orang yang pernah terinfeksi atau telah mendapat vaksinasi sebelumnya tetap mengalami peningkatan risiko tertular COVID-19.
“Masalah yang potensial terjadi adalah tingkat infeksi tinggi menyebabkan peningkatan kebutuhan tempat isolasi dengan kapasitas yang lebih besar. Jumlah hospitalisasi dan kematian bisa sama atau lebih tinggi dari gelombang Delta. Kasus anak lebih tinggi dibandingkan saat gelombang Delta, sehingga kita perlu memikirkan tempat isolasi ramah anak,” ujar dr. Doni.
Ia juga menyebutkan bahwa orang dengan risiko tinggi yang melakukan isoman di rumah, belum terfasilitasi oleh fitur telemedicine ketika muncul kegawatan sebab fitur telemedicine seringkali berhenti pada pemberian obat. Isolasi yang terintegrasi atau terkoneksi dengan rumah sakit dapat membuat proses rujukan lebih efektif dan efisien.
Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., PhD. selaku penggagas SONJO mengungkapkan ada tiga strategi yang selama ini digunakan dalam menanggulangi COVID-19 antara lain expect the unexpected, thinking the unthinkable, dan mobilisasi sumber daya. Untuk menghadapi pandemi ini, kita perlu melakukan estimasi terburuk dari dampak yang mungkin timbul, kemudian melakukan adaptasi dan inovasi untuk mencari jalan keluar, serta memanfaatkan segala bentuk sumber daya yang ada. Terkait strategi untuk menghadapi gelombang ketiga ini, ia menawarkan beberapa strategi, yaitu percepatan vaksinasi, reaktivasi shelter dan sistem rujukan, LiveDokter (layanan telemedicine), serta mobilisasi ambulan dan relawan.
“Dengan percepatan vaksinasi, sebenarnya kami juga berupaya menyatukan Pak Lurah dan Kepala Puskesmas. Berdasarkan pengalaman di gelombang kedua, shelter yang dibangun tidak sebanyak yang diharapkan karena kedua tokoh utama di desa ini seringkali belum berkoordinasi. Vaksinasi jimpitan yang berbasis gotong royong memungkinkan koordinasi terjadi, harapannya di gelombang ketiga ini shelter lebih mudah untuk dibangun,” ucap Rimawan.
Pada sesi berikutnya, dr. Tarsisius Glory selaku Direktur Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID-19 (RSKLC) menceritakan sepak terjangnya dalam membangun RSKLC dan shelter. Pada saat status pandemi ditetapkan, Bantul memiliki empat rumah sakit rujukan COVID-19 yaitu RSUP Panembahan Senopati, RSU PKU Muhammadiyah Bantul, RSPAU Hardjolukito, dan Rumah Sakit Santa Elisabeth. Untuk mengatasi ledakan kasus, RSKLC diusulkan untuk dibangun sebagai penyeimbang keempat rumah sakit rujukan lainnya. Rumah sakit yang mulai beroperasi pada bulan April 2020 itu mulanya hanya melayani kasus suspek dan gejala ringan, namun kini sudah menaikkan kapasitasnya sehingga mampu melayani pasien gejala ringan dengan komorbid, gejala sedang, hingga persalinan dengan COVID-19.
Setelah membangun RSKLC, seiring dengan peningkatan kasus COVID-19 yang signifikan, ia pun mengusulkan dikembangkannya Shelter Kabupaten. Shelter ini diperuntukkan bagi pasien terkonfirmasi dengan keluhan ringan-sedang dimana pasien dapat mandiri tanpa pengawasan medis ketat. Mulanya didirikan Shelter Semaul dengan kapasitas 19 bed, lalu tiga Shelter Kabupaten lain pun didirikan untuk mengakomodasi kebutuhan isolasi pasien di Bantul.
Adanya RSKLC dan Shelter Kabupaten saat itu ternyata masih belum menampung kebutuhan isoman dan memicu dibangunnya Shelter Desa. Menurut dr. Glory, shelter desa dapat mendekatkan pelayanan kesehatan ke masyarakat dan menjadikan masyarakat lebih nyaman untuk dirawat. Shelter desa yang bekerjasama dengan puskesmas ini merawat pasien OTG dan gejala ringan.
“Adanya shelter penting untuk memisahkan antara warga sehat sakit, mengurangi beban rumah sakit, serta memberikan pengawasan, pemantauan, dan penanganan kesehatan bagi pasien positif,” imbuhnya.
Acara yang dihadiri lebih dari 100 orang ini juga menampilkan Dr. dr. Darwito, Sp.B(K).,Onk dengan materi Strategi dan Alur Komunikasi RS dan Shelter Universitas, Didit Krisnadewara dengan pengalamannya dalam mengelola Shelter Syantikara, dan Edi Murdjito, S.Pd. (Lurah Sidomulyo) yang menceritakan pengalaman mengelola Shelter Sidomulyo. Materi selengkapnya dapat disimak pada laman ini dan disaksikan kembali melalui kanal Youtube AHS UGM.