Memasuki gelombang ketiga pandemi COVID-19, AHS UGM bersigap menggelar workshop bertajuk “Penguatan Sistem Kesehatan Regional di DIY dalam Menghadapi Varian Omicron”. Forum ini digelar pada Kamis (3/2) lalu melalui platform daring dan dihadiri oleh jejaring AHS UGM.
Dalam sambutannya, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH. (Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Pengabdian Masyarakat FK-KMK UGM) mengungkapkan bahwa lonjakan kasus COVID-19 terasa semakin terasa nyata. AHS sudah lama menjadikan COVID-19 sebagai tema prioritas sehingga perlu memaksimalkan potensinya dalam mengantisipasi varian Omicron.
“Adanya forum ini untuk mengaktifkan kembali simpul-simpul penanganan COVID-19 yang sudah ada serta untuk belajar dari pengalaman sebelumnya sehingga dapat menangani situasi terkini. Harapannya dapat memperkuat sistem kesehatan regional di DIY,” ujar dr. Yodi.
Membawakan materi pengantar terkait varian Omicron, dr. Riris Andono Ahmad, MPH, Ph.D. menuturkan bahwa varian Omicron memiliki kecepatan penularan yang jauh lebih tinggi dimana kemampuan untuk menjadi varian dominan jauh lebih pendek dibandingkan dengan varian Delta yang membutuhkan waktu hingga 3-4 bulan, sementara varian Omicron hanya butuh 2 bulan. Sebagai contoh, di Amerika pada pekan pertama bulan Desember masih didominasi varian Delta, namun sekarang hampir seratus persen dikuasai oleh varian Omicron.
Dalam pengendalian varian Omicron di Indonesia, ia mengungkapkan bahwa ada beberapa masalah yang mungkin terjadi. Transmisibilitas dan kemampuan reinfeksi yang tinggi dari varian Omicron dapat meningkatkan kebutuhan tempat isolasi dengan kapasitas yang jauh lebih besar. Isolasi-isolasi komunitas perlu diperluas sebab isolasi mandiri kurang kondusif terutama di wilayah urban yang sangat padat. Disamping itu, tingginya kasus anak menjadikan perlunya tempat isolasi ramah anak dimana hal ini belum menjadi concern pada gelombang sebelumnya.
Meskipun secara umum karakteristik varian Omicron ialah tingkat hospitalisasi dan tingkat kematian yang lebih rendah, namun dengan adanya kemampuan transmisi tinggi maka bisa menghasilkan efek yang sama seperti varian Delta. Merujuk data dari CDC (Amerika Serikat), rata-rata admisi rumah sakit akibat varian Omicron setiap harinya sebesar 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan varian Delta. Dengan kata lain, jumlah hospitalisasi bisa sama atau lebih tinggi dari saat gelombang Delta melanda kemarin.
Menurut dr. Bella Donna, M.Kes. (Pokja Bencana FK-KMK UGM), diperlukan adanya penataan Incident Command System (ICS), suatu organisasi yang fleksibel dimana dapat dieskalasikan, diintegrasikan, serta mengakomodir petugas dari berbagai instansi untuk bekerjasama secara efektif dalam melakukan respon bencana. Dalam sistem komando ini, terdapat standar prosedur yang memungkinkan komunikasi antar unit berjalan dengan baik. Penguatan sistem ini dapat menghasilkan beberapa keuntungan diantaranya mempersingkat mata rantai birokrasi normal, memungkinkan pengembangan mekanisme alternatif, dan sebagainya.
Terkait penguatan shelter, Rimawan Pradiptyo, Ph.D. memaparkan bahwa program SONJO Husada Tangguh bertujuan untuk mendukung keberadaan shelter dan penyediaan biaya operasional vaksinasi massal. Kurangnya koordinasi antara kepala desa dan kepala puskesmas saat gelombang kedua lalu menjadikan kurangnya jumlah shelter. Dengan tingkat penularan tinggi pada gelombang ketiga ini, ia berujar bahwa mungkin idealnya perlu disediakan shelter di setiap padukuhan. Pengembangan shelter padukuhan pun akan memudahkan orang tua dalam memantau anak yang sedang isolasi.
Memasuki sesi berikutnya, Dr. dr. Sri Mulatsih, MPH, Sp.A(K). menerangkan paparan tentang sistem rujukan dan pengembangan strategi komunikasi antar rumah sakit. Sistem Rujukan Terintegrasi (SISRUTE) yang diterapkan pada rujukan kasus COVID-19, merupakan wadah komunikasi antara fasilitas layanan kesehatan sebelum menerima rujukan. Sistem ini juga memuat informasi kelengkapan sarana, prasarana, dan SDM yang menangani, termasuk pula feedback dari rumah sakit penerima rujukan tentang kesediaan untuk menerima rujukan. Di masa pandemi, penguatan SISRUTE dilakukan dengan pengintegrasiannya dengan berbagai aplikasi, seperti RS ONLINE dan ASPAK, SIRANAP, SIRULI Kontes, dan lainnya. Namun, berdasarkan hasil analisis terdapat 74% kasus yang tidak dapat diterima dari sekitar 15.000 kasus rujukan, 18% terjadi karena ruang rawat penuh. Alasan lain adalah keputusan rujukan lamban ditetapkan. Ia juga menyebutkan bahwa puskesmas sebagai gate keeper dalam sistem rujukan, belum menerapkan sistem ini dengan baik sehingga masyarakat cenderung melakukan periksa ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
“Penguatan sistem rujukan memerlukan penta-helix governance, tidak hanya melibatkan dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan, tetapi juga akademisi, asosiasi profesi, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan partisipasi masyarakat sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan, safety, dan kendali biaya,” tutup dr. Mulat.
Materi ini dapat disaksikan kembali melalui Youtube AHS UGM dan diunduh pada laman berikut.