Sistem Kesehatan Akademik UGM telah berupaya mengembangkan program fokus mengatasi masalah Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Pada Rabu, 8 Januari 2025 tim Sistem Kesehatan Akademik (AHS) UGM mengadakan pertemuan untuk membahas pentingnya pemetaan rencana lima tahun kedepan. Dalam pertemuan yang digelar untuk membahas perkembangan program AHS, dr. Irwan selaku tim tema prioritas Kesehatan Ibu dan Anak mengusulkan pentingnya pemetaan rencana lima hingga sepuluh tahun ke depan untuk merancang program yang efektif melalui intervensi berbasis data dari pemerintah daerah. Evaluasi berkala dan desain ulang program akan dilakukan untuk memastikan kesesuaian dengan indikator yang telah ditetapkan.
Namun, tantangan terbesar dalam upaya ini adalah masalah pendanaan. dr. Haryo selaku pengurus harian AHS menekankan perlunya mencari sumber pendanaan kreatif baik secara nasional maupun internasional untuk mendukung program-program kesehatan ini. Selain itu, dalam diskusi tersebut, Bu Yuni dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaporkan tingginya angka kematian ibu yang mencapai 428 kasus pada tahun 2024. Hal ini terjadi di 35 kabupaten/kota, dengan Banyumas, Banjarnegara, dan Wonosobo menjadi daerah dengan angka kematian tertinggi. Upaya pencegahan kematian ibu melalui edukasi dan pemeriksaan kesehatan calon ibu menjadi prioritas.
Meskipun angka kematian bayi mengalami penurunan, masih ada banyak tantangan terkait angka kematian perinatal. Bu Yuni menambahkan bahwa layanan posyandu di Jawa Tengah sudah mendapat apresiasi, namun ada kekurangan dalam hal penyuluhan kesehatan dan pemeriksaan calon ibu yang masih terbatas cakupannya. Hal ini membuat Dinkes Jawa Tengah mengembangkan kerjasama dengan KUA, agar calon pengantin melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum menikah. Tujuannya adalah untuk memastikan ibu-ibu sudah dalam kondisi optimal sebelum hamil.
Di sisi lain, Dinkes DIY melalui dr. Hesti juga mengungkapkan tantangan serupa, di mana angka kematian ibu dan bayi di daerah tersebut belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Program skrining kesehatan untuk mencegah kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) terus dikembangkan, dengan harapan dapat menurunkan angka BBLR yang terus meningkat. Untuk itu, diperlukan penguatan pendampingan di puskesmas serta pemeriksaan rutin yang lebih terintegrasi untuk mendeteksi masalah kesehatan pada ibu dan anak sejak dini.
Dalam upaya mencapainya, dr. Shinta mengingatkan perlunya analisis data yang lebih mendalam untuk merancang langkah konkret. Komitmen dari semua pihak, termasuk dinas kesehatan, rumah sakit, dan fakultas kesehatan, sangat dibutuhkan untuk menyusun program yang lebih terarah dan terfokus. dr. Haryo menambahkan bahwa salah satu solusi yang bisa dicoba adalah pelaksanaan program secara piloting di beberapa daerah, untuk kemudian dievaluasi dan diterapkan secara lebih luas. Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada kerjasama yang kuat antar berbagai elemen dan pemangku kepentingan di tingkat daerah. Kegiatan ini selaras dengan Pembangunan Berkelanjutan yaitu tujuan SDGs ke-3 Kehidupan Sehat dan Sejahtera dan SDGs ke-17 Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.