Academic Health System Universitas Gadjah Mada (AHS UGM) sebagai tindak lanjut dari amanah Kemenkes untuk pemenuhan Dokter Umum dan Dokter Spesialis dengan skema AHS yang bertujuan untuk memberikan paparan perihal skema penugasan perguruan tinggi untuk pemenuhan dokter dan dokter spesialis dalam kerangka sistem kesehatan akademik, upaya penggalian issue-issue yang ada dalam pengaplikasian skema sistem kesehatan akademik, dan sebagai bahan bertimbangan untuk menjalankan proses skema kewilayahan sistem kesehatan akademik bersama AIPKI wilayah IV. Bertajuk “Pertemuan AIPKI Wilayah IV Terkait Skema Pemenuhan Dokter dan Dokter Spesialis dalam Kerangka Sistem Kesehatan Akademik”, acara ini mendatangkan dua narasumber yaitu Prof.dr.Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) dan dr. Haryo Bismantara, MPH.
Pada sesi pertama, Prof. Ova membawakan materi tentang “Implementasi Konsep Kewilayahan Academic Health System di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Seluruh Pulau Kalimantan dalam Pemenuhan Dokter Umum dan Spesialis”. Ia menjelaskan bahwa tantangan kesehatan di Indonesia misalnya di Yogyakarta meskipun jumlah penduduk bertambah, jumlah dokter bertambah, jumlah layanan kesehatan bertambah, tapi angka kematian ibu di Yogyakarta masih naik turun fluktuatif belum dapat ditekan secara baik, akses pelayanan kesehatan dasar dan spesialistik yang belum merata, salah satunya dikarenakan: belum semua Puskesmas terisi tenaga kesehatan lengkap, belum semua RSUD milik provinsi dan kab/kota memiliki dokter spesialis yang dibutuhkan, dan disparitas kualitas pelayanan kesehatan antar wilayah.
Ptof. Ova menjelaskan bahwa dimensi pengelolaan dokter umum dan spesialis di wilayah mencakup: pemenuhan jumlah, pemerataan distribusi, penjaminan kualitas. Proses pembahasan oleh komite bersama merangkum beberapa upaya pemenuhan jumlah dokter umum dan spesialis yang diharapkan tercapai melalui: peningkatan kuota pendidikan dokter umum, peningkatan kuota dokter spesialis, peningkatan jumlah RS pendidikan, penghapusan.
Menurut Prof. Ova, definisi Academic Health Sistem di Indonesia adalah penyelenggaraan program pendidikan, penelitian, pelayanan kesehatan dan pengabdian kepada masyarakat secara terpadu oleh perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, rumah sakit perguruan tinggi negeri, rumah sakit, wahana pendidikan, dan pemerintah daerah.
Tujuan AHS di Indonesia adalah meningkatkan jumlah dan kualitas SDM, meningkatkan penyerbaran dokter, dokter layanan primer, dan dokter spesialis untuk memenuhi kebutuhan di wilayah sasaran, meningkatkan indikator kesehatan masyarakat, meningkatkan efisiensi pembiayaan pelayanan dan pendidikan kesehatan. Prinsip AHS di Indonesia adalah mengembangkan model pelayanan kesehatan terpadu, efisien, efektif, dan berkualitas terhadap pelayanan kesehatan, mengembangkan model pendidikan untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang kompeten, profesional, dan berbasis kebutuhan wilayah, mendorong implementasi pendidikan interprofesi kesehatan berbasis praktik kolaborasi yang komprehensif, mengembangkan pusat unggulan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan untuk peningkatan kualitas layanan.
“Tiga model integrasi kesehatan-akademik di Indonesia meliputi Academic Health System adalah suatu wilayah yang lebih luas, dibawahnya Academic Health Center dimana ada kolaborasi antara institusi pendidikan, rumah sakit, ditambah rumah sakit-rumah sakit ataupun institusi pelayanan kesehatan lainnya, dan Academic Medical Center yang minimal diharapkan untuk dimiliki Fakultas Kedokteran,” tuturnya.
Keuntungan pendekatan kewilayahan berbasis Academic Health System adalah permasalahan dipotret lebih riil dan akurat, menimbulkan rasa memiliki terhadap suatau permasalahan (dekat dengan sekitar) sehingga ada rasa tanggung jawab untuk menyelesaikannya, bentuk kontribusi riil institusi pendidikan, mendorong kolaborasi multiheliks untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Ia menambahkan output pelaksanaannya adalah seluruh puskesmas di wilayah DIY, Jawa Tengah dan seluruh Pulau Kalimantan terisi dokter umum, seluruh rumah sakit umum daerah (RSUD) di wilayah DIY, Jawa Tengah dan seluruh Pulau Kalimantan memiliki jumlah tujuh dokter spesialis (SpA, SpB, SpPD, SpOG, SpAn, SpRad, SpPK) sesuai standar, seluruh RSUD Provinsi di wilayah DIY, Jawa Tengah dan seluruh Pulau Kalimantan memiliki dokter spesialis SpJP dan SpBTKV sesuai standar, seluruh RS pendidikan di wilayah DIY, Jawa Tengah dan seluruh Pulau Kalimantan mempunyai dosen NIDK, tercapainya jumlah dokter umum dan dokter spesialis sesuai dengan rasio ideal di wilayah DIY, Jawa Tengah dan seluruh Pulau Kalimantan.
Ada beberapa stream pelaksana kegiatan yaitu stream satu kaitannya dengan pemenuhan dokter umum di Puskesmas dan programnya meliputi distribusi penempatan dokter internship dan rekrutmen dokter pasca internship, stream dua kaitannya dengan pemenuhan 7 dokter spesialis di RSUP, RSUD Provinsi, dan RSUD Kab/Kota dan programnya meliputi distribusi dokter spesialis, melalui: pengiriman dokter PGDS, tubel plus, beasiswa empat semester akhir PPDS kontrak kerja, peningkatan kuota PPDS melalui konsorsium, dan stream tiga kaitannya dengan penguatan RS pendidikan dan programnya meliputi peningkatan produksi dan kualitas dokter umum dan spesialis, melalui peningkatan jumlah dan kualitas NIDK di RS pendidikan dan pemantapan status RS jejaring sebagai RS pendidikan.
Sesi selanjutnya, dr. Haryo membawakan materi yang berjudul “Materi Overview Penyesuaian Kebijakan dalam Implementasi Academic Health System kebijakan ini dapat mendorong disemacam level wilayah”. Ia memaparkan target jangka pendek meliputi penempatan PPDS Tubel, dokter PGDS dan kontrak kerja didasarkan atas data riil untuk mengisi kekosongan. Peningkatan kuota PPDS melalui skema konsorsium adalah FK ber-PPDS bekerja sama dengan FK lain di wilayahnya untuk meningkatkan jumlah wahana PPDS.
“Tahap pengembangan AHS pada regulasi menjadi landasan yang penting dalam membangun komitmen dalam menjalankan AHS. Tantangan AHS merupakan kolaborasi lintas stakeholders, dimana masing-masing stakeholders memiliki otoritas yang berbeda-beda seperti Universitas/FK bersama Kemendikbudristek, RS vertikal bersama Kemenkes, RS daerah, Puskesmas, Dinas Kesehatan bersama Pemerintah Daerah, tiap otoritas telah memiliki peraturan perundangannya masing-masing dengan berpotensi ada peraturan yang tumpang tindah atau tidak suportif untuk implementasi AHS, kebijakan tersebut perlu diharmonisasi agar sejalan dengan prinsip kolaborasi AHS”, ungkapnya.
“Hasil diskusi komite bersama, kolegium dan prodi ditemukan berbagai tantangan-tantangan yang terjadi yaitu ketersediaan dosen (NIDN dan NIDK, tidak perlu dikotomi, ratio NIDN, NIDK, jumlah NIDK yang terbatas), ketersediaaan wahana pendidikan Sp-1 yang terbatas, ketersediaan wahana pendidikan Sp-2 yang terbatas, regulasi yang belum suportif, sarana prasarana pendidikan klinis yang belum memadai, dokter penugasan yang tidak kembali ke daerah setelah lulus, mekanisme pemenuhan dokter spesialis yang belum berbasis pada situasi riil di wilayah, dan lain-lain”, jelas dr. Haryo.
Ia juga menambahkan diperlukan adanya pengembangan regulasi di tingkat pelaksana/daerah bisa dalam bentuk memorandum of understanding (MoU), nota kesepahaman antara komite bersama dengan pelaksana di tingkat daerah yang bertujuan memberikan payung hukum dalam membangun proses kerja sama yang berkelanjutan, mempertegas kedudukan dan tanggung jawab masing-masing anggota dalam lingkup kerja AHS, menjadi sumber informasi terkait nilai, prinsip, visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan AHS.
Hal yang dapat diatur melalui Perda/MoU/Nota Kesepahaman yaitu penegasan kerjasama para pihak dalam pelaksanaan AHS, penjelasan mengenai ruang lingkup dan tujuan pelaksanaan AHS di wilayah tersebut, struktur dan tata kelola organisasi AHS, indikator capaian yang ingin diwujudkan melalui AHS, model pembiayaan kegiatan AHS, dan mekanisme monitoring dan evaluasi.
Acara diadakan Selasa, 19 Juli 2022 lalu melalui media daring. Untuk menonton workshop ini secara lengkap, pembaca dapat mengunjungi tautan berikut.