Menyusui adalah proses pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi, dimana bayi memiliki refleks menghisap untuk mendapatkan ASI. ASI adalah cairan yang diciptakan khusus yang keluar dari payudara seorang ibu untuk bayi. ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna, praktis, murah, bersih dan higienis ketika bayi langsung minum dari payudara ibu. ASI dikatakan makanan paling sempurna bagi bayi karena kandungannya lengkap terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, air, vitamin, dan mineral. Pemerintah Indonesia menganjurkan pola pemberian makanan terbaik untuk bayi baru lahir sampai usia 2 tahun sebagai berikut:
Pada praktiknya, belum semua ibu dapat memberikan ASI secara optimal sesuai anjuran di atas. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan baru 58,2% bayi lahir di Indonesia yang mendapatkan IMD. Pada usia 0-5 bulan, sebanyak 37,3% bayi yang diberi ASI eksklusif; 9,3% bayi diberi ASI secara parsial (ditambah dengan makanan atau minuman lain); dan 3,3% mendapatkan cairan lain sebelum ASI keluar (ASI predominan). Dengan kata lain, masih banyak bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan ASI.
Timbul berbagai dampak apabila ibu tidak menyusui bayinya. Baik ibu maupun anak lebih rentan terhadap berbagai penyakit sehingga meningkatkan biaya kesehatan untuk pengobatan. Orang tua juga perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli susu formula. Sebuah penelitian tahun 2016 di Indonesia menunjukkan hampir 14% dari penghasilan seseorang habis digunakan untuk membeli susu formula bayi berusia kurang dari 6 bulan.
Selain berdampak pada keuangan rumah tangga, pemakaian susu formula ternyata memberikan beban yang cukup berat bagi bumi. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa dengan menyusui selama 6 bulan setiap bayi telah menghemat sekitar 95-153 kg gas CO2 (karbondioksida) dibandingkan dengan pemberian susu formula. Penelitian yang sama juga menyebutkan dengan mendukung ibu menyusui kita telah melakukan penghematan emisi karbon yaitu setara dengan mengurangi jumlah mobil antara 50.000 hingga 77.500 setiap tahunnya. Selain itu, peternakan sapi yang memproduksi susu formula akan menghasilkan gas metana sehingga menimbulkan efek rumah kaca secara signifikan.
Produksi susu sapi juga membutuhkan air hingga 4.700 liter per kilogram bubuk. Dalam hal limbah, setiap tahun terdapat 550 juta kaleng susu formula bayi, yang terdiri atas 86.000 ton logam dan 364.000 ton kertas dan tentunya menambah beban tempat pembuangan sampah. Meskipun data tersebut diperoleh dari penelitian di Inggris, dapat dipastikan bahwa kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Sementara itu, menyusui tidak menghasilkan sampah dan gas rumah kaca yang ditimbulkan minimal. Tidak seperti susu formula yang perlu ditambah berbagai bahan untuk meningkatkan kandungan gizinya, ibu menyusui cukup memerlukan bahan makanan sehat sesuai produksi daerah setempat. Dengan demikian, menyusui berkontribusi terhadap pengurangan volume sampah, penghematan energi, kelestarian air dan keberlangsungan pangan lokal. Dengan emisi gas rumah kaca yang minimal, menyusui dapat membantu mencegah perubahan iklim. Tak heran jika pekan ASI Sedunia yang diperingati pada tanggal 1-7 Agustus tahun 2020 lalu mengambil tema “mendukung menyusui untuk planet yang lebih sehat” karena terbukti jelas bagaimana proses menyusui mampu mengurangi produksi limbah, menghemat air, bahkan membantu mencegah perubahan iklim.
Oleh karenanya, proses menyusui selama dua tahun perlu mendapatkan dukungan dari banyak pihak sebagai upaya penyehatan masyarakat dan penyelamatan lingkungan. Dukungan diperlukan mulai dari keluarga terdekat, tenaga kesehatan, masyarakat, media massa hingga pemerintah. Pemerintah dapat memberikan kebijakan hak cuti melahirkan, menggalakkan penerapan kode internasional untuk pemasaran produk pengganti ASI, dan memperkuat sistem layanan kesehatan. Sementara tenaga kesehatan harus memegang komitmen agar hanya memberikan pengganti ASI apabila ada indikasi medis, serta perlu terus berusaha menyediakan fasilitas, seperti IMD, rawat gabung, edukasi dan konseling menyusui, dan ruang laktasi yang lengkap dengan kulkas pendingin. Tak hanya ibu, kerjasama dari ayah dan keluarga sangat berpengaruh dalam kesuksesan menyusu selama 2 tahun.
Penulis: Leiyla Elvizahro, S.Gz. (Ahli Gizi RS Akademik UGM) Editor: Nurul Fajriati Setyaningrum, S.Gz. Foto: Aleksandar Popovski on Unsplash
Referensi:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. Diakses dari: https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf https://worldbreastfeedingweek.org/2020/wp-content/uploads/2020/07/Press-Release-2020_eng.pdf Walters D, Horton S, Siregar AY, et al. The cost of not breastfeeding in Southeast Asia. Health Policy Plan. 2016;31(8):1107-1116. doi:10.1093/heapol/czw044 BMJ. (2019, October 2). Environmental cost of formula milk should be a matter of global concern: Support for breastfeeding is an environmental imperative. ScienceDaily. Diakses dari href="http://www.sciencedaily.com/releases/2019/10/191002183657.htm">www.sciencedaily.com/releases/2019/10/191002183657.htm Soetjiningsih.2012.ASI petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Artikel ini pernah dimuat disini.
- Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada bayi segera selama satu jam setelah lahir;
- Memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 bulan;
- Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat sejak genap umur 6 bulan; serta
- Meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun.
Pada praktiknya, belum semua ibu dapat memberikan ASI secara optimal sesuai anjuran di atas. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan baru 58,2% bayi lahir di Indonesia yang mendapatkan IMD. Pada usia 0-5 bulan, sebanyak 37,3% bayi yang diberi ASI eksklusif; 9,3% bayi diberi ASI secara parsial (ditambah dengan makanan atau minuman lain); dan 3,3% mendapatkan cairan lain sebelum ASI keluar (ASI predominan). Dengan kata lain, masih banyak bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan ASI.
Timbul berbagai dampak apabila ibu tidak menyusui bayinya. Baik ibu maupun anak lebih rentan terhadap berbagai penyakit sehingga meningkatkan biaya kesehatan untuk pengobatan. Orang tua juga perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli susu formula. Sebuah penelitian tahun 2016 di Indonesia menunjukkan hampir 14% dari penghasilan seseorang habis digunakan untuk membeli susu formula bayi berusia kurang dari 6 bulan.
Selain berdampak pada keuangan rumah tangga, pemakaian susu formula ternyata memberikan beban yang cukup berat bagi bumi. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa dengan menyusui selama 6 bulan setiap bayi telah menghemat sekitar 95-153 kg gas CO2 (karbondioksida) dibandingkan dengan pemberian susu formula. Penelitian yang sama juga menyebutkan dengan mendukung ibu menyusui kita telah melakukan penghematan emisi karbon yaitu setara dengan mengurangi jumlah mobil antara 50.000 hingga 77.500 setiap tahunnya. Selain itu, peternakan sapi yang memproduksi susu formula akan menghasilkan gas metana sehingga menimbulkan efek rumah kaca secara signifikan.
Produksi susu sapi juga membutuhkan air hingga 4.700 liter per kilogram bubuk. Dalam hal limbah, setiap tahun terdapat 550 juta kaleng susu formula bayi, yang terdiri atas 86.000 ton logam dan 364.000 ton kertas dan tentunya menambah beban tempat pembuangan sampah. Meskipun data tersebut diperoleh dari penelitian di Inggris, dapat dipastikan bahwa kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Sementara itu, menyusui tidak menghasilkan sampah dan gas rumah kaca yang ditimbulkan minimal. Tidak seperti susu formula yang perlu ditambah berbagai bahan untuk meningkatkan kandungan gizinya, ibu menyusui cukup memerlukan bahan makanan sehat sesuai produksi daerah setempat. Dengan demikian, menyusui berkontribusi terhadap pengurangan volume sampah, penghematan energi, kelestarian air dan keberlangsungan pangan lokal. Dengan emisi gas rumah kaca yang minimal, menyusui dapat membantu mencegah perubahan iklim. Tak heran jika pekan ASI Sedunia yang diperingati pada tanggal 1-7 Agustus tahun 2020 lalu mengambil tema “mendukung menyusui untuk planet yang lebih sehat” karena terbukti jelas bagaimana proses menyusui mampu mengurangi produksi limbah, menghemat air, bahkan membantu mencegah perubahan iklim.
Oleh karenanya, proses menyusui selama dua tahun perlu mendapatkan dukungan dari banyak pihak sebagai upaya penyehatan masyarakat dan penyelamatan lingkungan. Dukungan diperlukan mulai dari keluarga terdekat, tenaga kesehatan, masyarakat, media massa hingga pemerintah. Pemerintah dapat memberikan kebijakan hak cuti melahirkan, menggalakkan penerapan kode internasional untuk pemasaran produk pengganti ASI, dan memperkuat sistem layanan kesehatan. Sementara tenaga kesehatan harus memegang komitmen agar hanya memberikan pengganti ASI apabila ada indikasi medis, serta perlu terus berusaha menyediakan fasilitas, seperti IMD, rawat gabung, edukasi dan konseling menyusui, dan ruang laktasi yang lengkap dengan kulkas pendingin. Tak hanya ibu, kerjasama dari ayah dan keluarga sangat berpengaruh dalam kesuksesan menyusu selama 2 tahun.
Penulis: Leiyla Elvizahro, S.Gz. (Ahli Gizi RS Akademik UGM) Editor: Nurul Fajriati Setyaningrum, S.Gz. Foto: Aleksandar Popovski on Unsplash
Referensi:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. Diakses dari: https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf https://worldbreastfeedingweek.org/2020/wp-content/uploads/2020/07/Press-Release-2020_eng.pdf Walters D, Horton S, Siregar AY, et al. The cost of not breastfeeding in Southeast Asia. Health Policy Plan. 2016;31(8):1107-1116. doi:10.1093/heapol/czw044 BMJ. (2019, October 2). Environmental cost of formula milk should be a matter of global concern: Support for breastfeeding is an environmental imperative. ScienceDaily. Diakses dari href="http://www.sciencedaily.com/releases/2019/10/191002183657.htm">www.sciencedaily.com/releases/2019/10/191002183657.htm Soetjiningsih.2012.ASI petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Artikel ini pernah dimuat disini.