FK-KMK bersama AHS UGM mengadakan webinar bertajuk “Ivermectin sebagai Obat Penunjang Terapi COVID-19: Tinjauan Imunopatologis, Riset, dan Klinis” pada Rabu (21/7) bagi civitas akademik FK-KMK UGM dan jejaring AHS UGM. Dalam webinar yang dihadiri sekitar 300 orang ini, terdapat tiga materi yang dipaparkan diantaranya, “Tinjauan Riset Ivermectin Sebagai Obat Penunjang Terapi COVID-19” oleh dr. Jarir Attobary, Ph.D., “Aspek Imunopatologis COVID-19 dan Pilihan Tatalaksananya” oleh dr. Fariz Nurwidya, Sp.P., Ph.D., FAPSR, dan “Permasalahan/Pengalaman Menangani COVID-19 di Rumah Sakit” oleh dr. Siswanto, Sp.P.
Dengan dipandu moderator Dr. dr. Niken Trisnowati, M.Sc., Sp.KK(K)., pembicara pertama, yakni dr. Jarir memaparkan obat Ivermectin beserta efek, mekanisme, dan bukti ilmiah terkait. Obat Ivermectin sebetulnya sudah ada sejak lama dan merupakan obat cacing yang diberikan secara per oral.
“Secara umum indikasi yang disetujui baik di Eropa, Amerika, dan Indonesia adalah untuk kecacingan Strongyloides stercoralis. Menurut studi desain RCT, obat ini dengan pemberian dosis tunggal dapat menyembuhkan 64-100% pasien,” ujar dr. Jarir.
Obat ini dapat menyerang langsung sel syaraf dan otot pada cacing sehingga mengakibatkan paralisis dan kematian pada cacing. Pada studi lain, obat ini diujikan untuk melawan askariasis, filariasis, dan scabies.
Sebagai antivirus, menurut studi in-vitro, Ivermectin dapat menghambat replikasi RNA SARS-Cov-2. Mekanismenya adalah obat ini mengikat importin alfa dan importin beta yang memediasi masuknya virus pada sel sehingga virus COVID-19 tidak mampu mengikatnya lagi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa menurut hasil studi meta-analysis, masih terdapat inkonsistensi hasil penelitian karena adanya risiko bias yang tinggi. WHO sendiri tidak merekomendasikan penggunaan Ivermectin pada pasien COVID-19, kecuali dalam konteks uji klinik.
Berlanjut ke materi kedua dr. Fariz memulai paparannya dengan penjelaskan sistem imunitas manusia, yang meliputi sistem imun bawaan dan adaptif. Ia juga menguraikan saat ini di Indonesia ada 5 terapi yang digunakan sesuai rekomendasi 5 organisasi profesi dengan mengingat pertimbangan WHO dan BPOM. Obat ini digunakan sesuai dengan tingkat keparahan penyakit, antara lain Remdesivir, Dexametason, Tocilzumab, Favipiravir, dan plasma konvalesen.
Selanjutnya, dr. Siswanto menekankan bahwa tenaga kesehatan perlu mencatat hari onset untuk mewaspadai perburukan gejala. Selain itu, ada beberapa tools yang dipakai untuk mendeteksi “progressive” pada COVID-19 yaitu suhu, respiratory rate, SpO2 dan SpO2/FiO2 per 8 jam, cek DL, CRP kuantitatif, dan Ddimer per 48 jam.
Materi lengkap pada webinar ini dapat diakses pada https://bit.ly/MateriWebinarIvermectin. Nantinya, AHS UGM dan FK-KMK akan terus berkontribusi dalam edukasi penanganan pandemi ke tenaga kesehatan dan masyarakat luas. (AHS/nfs)