Universitas Gadjah Mada (UGM), melalui tim Academic Health System (AHS), menggelar Workshop Pemutakhiran Rencana Strategis Sistem Kesehatan Akademik untuk periode 2025-2029. Kegiatan ini diadakan di El-Hotel Yogyakarta Malioboro pada Senin (23/12), dengan tujuan merumuskan strategi yang dapat menghadapi tantangan kesehatan di masa depan. Di antaranya, kekurangan tenaga medis, ketimpangan fasilitas kesehatan, serta upaya untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.
Ketua Tim AHS UGM, Dr. Sudadi, mengungkapkan bahwa sejak dimulai pada 2019, pengembangan AHS sudah menunjukkan perkembangan yang pesat. Terutama setelah kebijakan bersama dua kementerian, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, yang mempercepat akselerasi program ini. Kebijakan tersebut diharapkan bisa memenuhi kebutuhan tenaga medis, khususnya dokter dan dokter spesialis yang masih kurang dari standar ideal.
Sepanjang tahun 2024, tim AHS melaksanakan roadshow ke berbagai jaringan AHS di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr. Sardjito. Sebanyak sepuluh rumah sakit tertarik untuk bergabung dalam jaringan ini, termasuk RSUD Prambanan dan RS Mata Dr. Yap. Workshop ini juga menekankan empat fokus utama yang akan menjadi prioritas hingga tahun 2029, yaitu kesehatan lansia, kesehatan ibu dan anak, ketahanan bencana, serta pengembangan pariwisata kesehatan.
Pada 2023, AHS UGM berhasil menyusun roadmap pengembangan hingga 2029 dalam sebuah pertemuan di Semarang. Kolaborasi yang lebih luas pun terbentuk, salah satunya dengan penandatanganan MoU bersama BPJS Kesehatan pada Dies Natalis Fakultas Kedokteran UGM 2024. Kerja sama ini bertujuan untuk memperkuat riset kesehatan melalui big data yang mendukung jaringan AHS.
Meski demikian, tantangan masih ada. Salah satunya terkait persepsi rumah sakit di Indonesia terhadap status sebagai rumah sakit pendidikan. Dr. Haryo Bismantara, Sekretaris AHS UGM, menambahkan bahwa rumah sakit pendidikan di luar negeri biasanya dianggap sebagai mitra strategis, namun di Indonesia beberapa rumah sakit khawatir dengan pengawasan mahasiswa, yang menghambat kolaborasi yang optimal.
Di sisi lain, M. Agus Priyanto, Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan DIY, mengungkapkan ketimpangan fasilitas kesehatan di Yogyakarta, dengan wilayah utara seperti Sleman memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan Gunungkidul. Selain itu, 70% ambulans di DIY adalah ambulans komunitas, yang menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat infrastruktur kesehatan di daerah tersebut.
Yunita Dyah Suminar, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah, juga mengingatkan tentang rendahnya rasio dokter spesialis di Jawa Tengah, yang hanya 0,29 per 1.000 penduduk, jauh dari standar WHO. Bahkan beberapa daerah seperti Kebumen dan Karanganyar belum memiliki rumah sakit dengan kualifikasi tipe B. Kekurangan tenaga medis menjadi persoalan yang mendesak, dengan 137 tenaga kesehatan masih dibutuhkan untuk mengisi kekosongan di 127 puskesmas.
Melalui acara ini, UGM menunjukkan komitmennya untuk terus berkontribusi dalam mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Dengan memperluas jaringan AHS di berbagai wilayah, seperti DIY, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur, serta menjalin kerjasama dengan sepuluh mitra baru pada 5 Maret mendatang, UGM berharap dapat memperluas jangkauan layanan kesehatan berbasis pendidikan.
Selain itu, AHS juga merancang afirmasi khusus untuk peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), guna memastikan ketersediaan tenaga medis yang kompeten di masa depan. Dr. Sudadi berharap, AHS dapat menjadi pendorong utama dalam transformasi sistem kesehatan nasional dan meningkatkan kolaborasi antara rumah sakit, universitas, serta masyarakat luas. Langkah ini sejalan dengan komitmen FK-KMK UGM terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.